12 Juni 2009

PEMBANGUNAN INDONESIA: HUTANG DAN CENGKRAMAN NEOKOLONIALISME


Elhu Haeruddin, Direktur Analisis Strategy and Planing Senyawa Institute

Momentum pemilihan presiden (pilpres) menjadi harapan rakyat Indonesia guna mendapatkan presiden yang mampu membawa perubahan yang lebih baik. Tentu momentum ini menjadi pijakan untuk merubah wajah Indonesia menjadi negeri yang sejahtera. Seekor keledaipun tidak ingin jatuh pada lubang yang sama, seorang filosouf spanyol mengingatkan bahwa mereka yang gagal pengambil pelajaran dari sejarah maka niscaya mereka akan mengulangi pengalaman sejarah itu. Berbagai jargon dan pencitraan yang dibangun oleh para kandidat bertujuan untuk mendulang suara. Namun perlu diketahui bahwa pencitraan itu sangat dipengaruhi oleh perilaku politik dimasa lalu, terkadang pencitraan dibangun kontradiksi terhadap perilaku politik dimasa lalu, tetapi mungkin itulah tujuan pencitraan. Membangun kembali negeri ini harus mengetahui duduk persoalannya. Apa yang sebenarnya harus dilakukan mengapa negeri yang kekayaannya melimpah ruah ini masih belum sejahtera? Berarti ada yang salah atau terjadi masalah, masalah itu karena ada ketidaksesuaian antara harapan (das sein) dengan kenyataan (das sollen). Dalam sejarah panjang negeri ini tidak pernah terlepas dari penjajahan. Dahulu kita dijajah secara fisik, namun penjajahan itupun kembali hadir dalam bentuk dan format yang lain tapi tidak memiliki perbedaan secara subtansi yaitu hilangnya kemerdekaan, kemandirian, dan kedaulatan politik, ekonomi, sosial, hukum dan pertahanan. Dahulu menggunakan senjata sekarang menggunakan institusi internasional sebagai senjata dalam bentuk organiasi ekonomi seperti Bank Dunia dan IMF. Operasional organiasi sejenis inilah yang poluler kita kenal wujud Neokolonialisme atau penjajahan dengan gaya baru. Para penjajah baru (Neokolonial) itu yang paling menonjol adalah dalam bentuk korporasi – korporasi besar yang bersifat multinasional yang memiliki jaringan politik, militer, intelektual, perbankan dan media massa yang sangat kuat dengan tujuan yaitu untuk ‘mengobrak abrik’ kedaulatan negara berkembang agar bisa mendapatkan keuntungan yang setinggi-tingginya. Dengan demikian mereka dapat membangun dominasi di segala bidang yaitu politik, ekonomi, pertahanan, ilmu pengetahuan dan tekonologi. INSTRUMEN GLOBALISASI Memahami globalisasi secara sempit yaitu hilangnya batas-batas antara negara yang satu dengan negara lain sehingga akses informasi, teknologi dan ilmu pengetahuan dapat dengan mudah sampai hingga kepelosok desa. Namun kenyataannya justru hanya melahirkan pengertian bahwa hilangnya perangkat aturan yang membatasi negara maju untuk mengintervensi negara berkembang. Karena justru negara majulah yang lebih banyak diuntungkan karena para pemilik informasi adalah negara maju sehingga segala informasi dapat di design sesuai dengan kepentingannya, demikian juga teknologi seperangkat teknologi yang kita gunakan sebagai produk asing rata-rata dioperasikan oleh pihak asing dengan gaji yang cukup tinggi. Jan Aart Scholts menggambarkan globalisasi sebagai liberalisasi. Yakni merujuk pada pemusnahan berbagai restriksi politik sehingga ekonomi dunia menjadi lebih terbuka dan tanpa batas. Globalisasi melalui rekomendasi kebijakan neoliberal diantaranya privatisasi BUMN, Liberalisasi sektor keuangan, deregulasi pasar dan anggaran yang minim terhadap pembangunan sosial. Kesimpulan sesungguhnya dari globalisasi adalah terbentuknya imperium global yang menjadikan negara maju (Amerika Serikat) sebagai pusat ordinat dalam mengakumulasi keuntungan dari negara pinggiran (peri-peri) atau subordinat. Untuk mencapai tujuan tersebut tidak menutup kemungkinan mereka akan menyisipkan kaki tangannya untuk memuluskan seluruh kebijakannya dan menyingkirkan yang menghalangi kepentingannya. Sebenarnya pengusaha yang paling berbahaya adalah mereka para pengusaha asing yang menancapkan perusahaannya untuk mengeksploitasi Negara berkambang. Ada tiga institusi yang menopang globalisasi yang digunakan negara maju untuk mengintervensi negara berkembang. Yaitu World Bank (WB), International Monetery Found (IMF) dan World Trade Organization (WTO). Tiga institusi global inilah yang mempunyai kekuatan pressure ekonomi yang kuat dalam membentuk imperium global. Pertemuan bretton woods, Amerika Serikat, pada tanggal 22 Juli 1944 sekitar 700 delegasi dari 43 negara menghadiri pertemuan tersebut dan menyetujui kelahiran Bank Dunia (World Bank) dan International Monetery Found (IMF) misi utama pembentukan lembaga tersebut adalah pembangunan yaitu untuk membantu Negara – Negara yang hancur mengingat pada saat itu telah terjadi Perang Dunia Ke II, kemudian berkembang menjadi lembaga yang memberikan bantuan kepada negara miskin atau negara berkembang, Sementara IMF adalah untuk memperbaiki dan menjaga system moneter yang juga hancur pada saat itu, yang ironis dari tujuan tersebut adalah negara yang mendapat bantuan berupa pinjaman dengan bunga diatas 5 % justru semakin miskin dan dililit utang. Jepang sebagai salah satu negara yang ikut hancur pada saat PD II dan ikut berhutang untuk membiayai infrastruktur ekonomi dan pengembangan sumber daya manusianya. Namun dalam perjalanannya utang tersebut terasa terus meningkat hingga pemerintah jepang mengambil inisiatif untuk melakukan penjadwalan pembayaran utang selama 30 tahun dengan melahirkan beberapa kebijakan penghematan pengeluaran, ruang kantor yang kecil dan mobil bekas bagi para menterinya dan beberapa kebijakan lain yang yang ditujukan untuk pengembangan sumber daya manusia. Dan pada tahun 1975 Jepang berhasil keluar dari jeratan utang dan tahun 1977 telah menjadi negara pendonor bagi negara miskin, hingga kini Jepang menjadi salah satu negara kuat diantara 8 negara terkuat di dunia, sekelompok negara yang memiliki kekuatan pressure yang sangat kuat dalam dunia global. Karena menguasai hampir 50 % dari total ekspor global dan asset di Internasional Monetery Found (IMF). KETERGANTUNGAN UTANG Siapapun presiden yang terpilih akan sulit membangun nilai Bargaining terhadap Negara asing, ketergantungan terhadap utang luar negeri menjadi biang sulitnya membangun kemandirian ekonomi. Tercatat utang luar negeri sampai akhir tahun 2004 mencapai kisaran Rp1.275 trilyun dan melejit di tahun 2004 – 2009 menjadi Rp.1.667 trilyun. Dengan demikian terjadi penambahan utang sebesar Rp.392 trilyun dalam kurun waktu kurang dari 5 tahun. Sehingga jumlah rata – rata penambahan utang pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono pertahunnya sebesar Rp.80 trilyun. Total cicilan dan bunga pinjaman luar negeri pemerintahan Presiden SBY pada tahun 2005 sampai bulan September 2008 mencapai Rp. 277 trilyun. Jika APBN sekitar Rp.1000 trilyun lebih, berarti sekitar 30 persen dari APBN digunakan untuk membayar utang. Sebuah kejadian yang berulang sebab Indonesia kembali menjadi Negara pengutang. Era reformasi yang diharapkan menjadi pijakan untuk merubah wajah negeri yang kaya ini, seakan terlupakan dan terkesan tidak mempunyai nilai apa-apa, meskipun pada proses untuk berada pada era tersebut (reformasi) memakan korban nyawa dari perjuangan mahasiswa dan hanya kata maaf yang bisa diberikan kepada founding Father negeri ini. Ada pernyataan menarik dari seorang elit di negeri ini dalam wawancaranya di salah satu stasiun TV swasta beberapa waktu lalu bahwa “membangun dengan utang adalah hal yang wajar, Negara maju saja punya utang” kurang lebih seperti itu bunyinya. pernyataan tersebut seakan ikut mengesahkan naluri dan hasrat untuk terus berutang. Menjadi bahan pertimbangan bahwa Negara maju seperti Amerika Serikat tidak bisa disamakan dengan Indonesia sebagai Negara berkembang (terjadi over generalization) kenapa tidak mengambil contoh Negara yang kolaps karena utang. Negara maju (pemilik modal) mempunyai kekuatan besar untuk menolak segala sesuatu yang dianggap merugikan bagi negaranya sedangkan Negara berkembang tentu kehilangan nyali untuk menolak segala bentuk penjajahan ekonomi yang merugikan. Membahas persoalan keuangan dalam hal ini utang, tidak hanya secara spesifik saja, karena persoalan yang satu dapat mempengaruhi persoalan lain. Pemikiran elit tersebut begitu konservatif cenderung mempertahankan keadaan masa lalu. Pemikiran konservative akan melahirkan Kesadaran naïf yang tidak dapat menghubungkan antara persoalan yang satu dengan persoalan yang lain, Seakan tidak mampu mengaitkan antara persoalan ekonomi dengan politik tetapi kesadaran kritis menyatakan sebaliknya. Sekilas kita begitu bangga ketika Indonesia terlepas dari IMF dengan harapan bahwa intervensi dari kedua lembaga tersebut akan musnah. Tetapi watak dari kedua lembaga tersebut masih tetap dirasakan oleh Indonesia. Watak dari kedua lembaga tersebut adalah sama yaitu yang kita kenal dengan Struktur Adjusment Program (SAP) atau program penyesuaian struktur. Jadi walaupun kita lepas dari IMF tetapi kita masih mempunyai hubungan dengan Bank Dunia yang merupakan saudara kandung dari IMF, tidak merubah watak dan perilaku asing dalam memberikan arahan – arahan atau tekanan untuk mengikuti SAP tersebut. Perbedaan zaman orde baru jika dibandingkan dengan zaman reformasi hanyalah dari segi strategi berutang, zaman Orde baru utang Indonesia berupa pinjaman lunak dengan bunga 4 sampai 6 persen sedangkan pemerintah sekarang menerbitkan SUN (Surat Utang Negara) yang bunganya mencapai 12 sampai 14 persen. Ditengah tingginya beban utang yang harus ditanggung oleh negara, pemerintah melalui menteri keuangan berencana menerbitkan surat utang negara dengan agunan stadion glora Bung Karno senilai Rp. 50 trilun. Hal ini tentu menimbulkan ketidakwajaran, karena dalihnya adalah hanya untuk menutup defisit APBN. EKSPLOITASI ASING Marwoto Mitrohardjono seorang anggota DPR RI pernah menganalogikan kontrak karya Pemerintah dengan Pertamina EP (kontraktor yang menjadi anak perusahaan pertamina). Beliau menganalogikan seperti seseorang yang mempunyai mobil taksi, kemudian ia membuat kontrak dengan seorang sopir untuk mengoperasikan taksi tersebut. Disamping upah sudah diberikan kepada sopir plus harga sepatu, baju dan peralatan yang diperlukan, ia membayar lagi ke sopir itu ongkos penyusutan mobil pertahun secara tunai. Gambaran diatas tampak bahwa mengapa negeri yang kaya ini masih tetap melarat. Analogi diatas akan memberikan gambaran bahwa pemerintah mendapat keuntungan yang hanya sedikit berbeda dengan keuntungan yang didapatkan oleh kontraktor. Hal ini disebabkan karena perhitungan cost recovery yang harus dibebankan kepada pemerintah. Analogi diatas hanya mengambil satu contoh kontrak karya, bayangkan apabila seluruh kontrak karya dengan perusahaan Asing dijalankan dengan cara seperti diatas. Kontrak produk sharing (KPS) juga pernah digambarkan oleh kwiek kian gie (Amien Rais: 199) masyarakat awam mengetahui bahwa rasio antara Indonesia dan Kontraktor berbanding 85 %:15%, sekelebat bagus tetapi nanti dulu ! kontraktor asing yang memegang operatorship eksploitasi migas kita harus menghitung dulu cost recovery. Biaya produksi itu harus dibayar dulu ke korporasi asing sebagai kontraktor asing sebagai kontraktor, baru setelah itu hasil bersih dibagi dengan rasio Indonesia 85 persen, kontraktor 15 persen. Ketemunya, Indonesia mendapat 58 persen sedangkan kontraktor produktion sharing 41 persen. Beberapa penggambaran diatas akan memberikan rakyat Indonesia jawaban bahwa negeri yang kaya ini tidak akan pernah maju apabila praktek eksploitasi dari seluruh kontrak karya dengan pihak asing tidak memberikan keuntungan yang signifikan kepada Indonesia. Pemimpin yang selanjutnya akan membangun Indonesia seharusnya memiliki keberanian untuk segera merekonstruksi atau renegosiasi terahadap seluruh kontrak karya yang ada, agar Indonesia menjadi lebih maju dan siap bersaing dengan negara lain. HARAPAN UNTUK INDONESIA BARU Meninggalkan resep ekonomi neoliberal yang tertuang dalam Consensus Washington adalah jalan terbaik untuk negara kaya. Rekonstruksi seluruh kontrak karya terhadap kontraktor asing guna mendapatkan fair trade world (keadilan ekonomi dunia). Bukannya memperlebar kesenjangan ekonomi antara negara maju dengan negara berkembang. Bayangkan apabila negara maju seperti Amerika dan eropa menghabiskan $ 17 milyar hanya untuk memberi makanan anjing dan kucing sementara pemerintah Indonesia harus berutang untuk membiayai rakyat miskin. Belajar pada banyak negara lain yang merekonstruksi kontrak karya pembangunan dengan negara maju justru semakin maju (China, India dan Argentina), ancaman yang diberikan bahwa mereka akan dikucilkan investor Asing hanyalah gertak semata, terbukti ketika china dan Argentina merekonstruksi seluruh kontrak karya dengan Investor asing ternyata tidak demikian, investor asing tidak hengkang dan tetap melanjutkan hubungan ekonomi tersebut. Investor asing memang tetap pemerintah butuhkkan tetapi tentu dengan kontrak karya yang lebih adil dan menguntungkan, dan bukan kontrak karya yang merugikan yang sifatnya sangat pragmatis, serta pajak progresif untuk barang-barang Impor untuk menutupi defisit APBN, dengan begitu Indonesia dapat membuka lapangan kerja yang lebih luas dan tidak lagi mengirim TKI ke negara lain untuk mendapatkan pendapatan negara sementara harus mengorbankan harkat dan martabat bangsa seperti beberapa kasus penyiksaan para TKI di negara lain. Menjadi harapan seluruh rakyat Indonesia adalah kesejahteraan, pemimpin yang bisa membawa angin perubahan, bukan pemimpin yang membawa bangsa yang kaya ini menjadi bertambah miskin. Seharusnya kekayaan negara ini jika dikelola dengan baik dapat membiayai peningkatan kesejahteraan. Sesuai dengan amanat undang-undang bahwa seluruh kekayaan alam dikelola oleh negara dan dimanfaatkan untuk kesejateraan rakyat. Transisi ekonomi yang dialami Indonesia beberapa tahun terkhir, membuat Indonesia berada pada kondisi ketidakpastian (ketidakpastian ekonomi) yang bias terhadap keadaan masyarakat di tingkat bawah (grass root), sehingga memicu tingkat kriminal yang lebih cenderung meningkat. Ketidakpastian itu juga dapat melahirkan tingkat stress yang tinggi di masyarakat yang cenderung menciptakan konflik yang dapat merusak integritas bangsa. Indonesia harus lebih cepat keluar dari kondisi ini. Momentum Pilpres kali ini harus dijadikan titik balik perubahan untuk mengembalikan jati diri bangsa. Presiden berikutnya setidaknya, tidak memiliki birahi pengutang dengan mengandalkan utang untuk membangun pertumbuhan ekonomi tetapi justeru hanya membuatkan lubang besar untuk Indonesia. Tidak bermental budak (Agen Neolib), dan mempunyai intuisi agar mampu merasakan penderitaan jutaan rakyat miskin. Pemimpin yang mampu membuat poros baru untuk tegaknya kedaulatan ekonomi, politik, pertahanan dan keamanan. Nasib bangsa ini ditentukan oleh pilihan rakyat Indonesia, salah dalam menentukan pilihan tentu tidak akan merubah Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar