14 November 2009

KISRUH IDEOLOGI DAN SISTEM HUKUM (Titik Balik Baru Bayangan Masa Depan Sebuah Bangsa Raksasa)


Oleh : Shaff Muhtamar
Direktur Eksekutif Senyawa Institute

Tiga bulan menjelang pergantian kepemimpinan nasional indonesia periode 2003/2009 – 2009/2014, hingga satu bulan setelah pelantikan SBY-Budiono sebagai pasangan pepimpin nasional yang terpilih untuk periode terbaru. Yang menarik bagi saya dalam rentang waktu tersebut adalah mencuatnya secara tajam dalam kawasan publik mengenai ‘idiologi pemimpin’. Masa kampanye capres banyak diwarnai perbincangan publik mengenai isme-isme yang kelihatanya diarak masing-masing capres, seperti Iliberalisme, neo- liberalisme, kapitalisme, pancasilaisme, nusantaraisme dan nasionalisme, Ini yang pertama. Dan yang ke dua adalah hiruk-pikuk perseteruan yang melibatkan tiga lembaga penegak hukum secara menonjol dan vulgar: Kpk, Polri, dan Kejaksaan. Para pejabat elitnya terbelit masalah yang runyam. Masalah yang mempertaruhkan eksistensi sebuah sistem hukum, gengsi politis lembaga dan hasrat rendah sebuah kemewahan jabatan.

Ke dua peristiwa ini sebagai fenomena sosial, hemat saya, telah menjadi semacam titik balik baru bagi konstruk wawasan maupun image masa depan masyarakat kita. Perbincangan publik mengenai idieologi pemimpinnya dalam skala yang luas dengan tingkat kedalaman yang relatif, untuk pertama kalinya terjadi setelah 40 tahun terakhir dalam sejarah politik bangsa ini. Momentum ini merupakan stimulan baru bagi benak publik bahwa ‘ideologi pemimpin’ adalah hal mendasar untuk dipertanyakan sebab akan menyangkut nilai, style dan tata cara mereka memimpin bangsa ini, dengan demikian juga mengenai kearah mana masa depan masyarakat besar ini akan dibawa? Meskipun memang, pada akhirnya masalah ideologi ini akan menjadi urusan politik. Kita sebagai publik yang membincangkannya juga suka atau tidak akan terseret ke arah politik. Pengetahuan mengenai kita mengenai isme-isme tersebut, pada kenyataannya akan mamaksa tangan kita menarik garis batas yang tegas mengenai apa yang kita suka dan yang tidak kita senangi. Aroma ideologi membuat kita terjerembab dalam pendulum yang bergoyang antara suka atau tidak suka secara bolak- balik. Tetapi pilihan kita adalah gambar besar eksisitensi kita di masa depan.

Pilihan ideologi seorang pemimpin menjadi sangat penting artinya bagi publik, karenya menyangkut masa depan mereka. Demokrasi telah memungkinkan setiap kita untuk menolak pemimpin yang berbeda ‘ideologi’ dengan kita. Sama memungkinkannya bagi demokrasi untuk memberikan kesempatan kepada segala macam dan jenis ideologi yang ada untuk bersaing, karena publiklah nanti yang menjadi penentunya. Semakin semarak dan intens publik memperbincangkan ideologi dalam beragam perspektifnya, maka akan menjadi baik bagi terbukanya kesempatan-kesempatan baru masa depan alternatif bagi masyarakat kita. Karena masa depan selalu berawal dari sepenggal ide kebaikan dan nilai kebajikan. Dan yang mendasar sebenarnya adalah nilai-nilai dibalik sebuah ideologi. Ideologi secara umum hanya mungkin dikategorikan dalam dua garis besar, yakni ideologi yang racikan nilainya murni berasar dari kehhidupan bumi, dan ideologi yang sulam dari benang-benang nilai dari langit. Maksudnya yang pertama, ideologi tersebut kebenarannya hanya bersumber dari kedalaman sumur akal atau rasio manusia, dan yang ideologi kedua, kebenarannya bersumber dari bentangan samudra tanpa batas pengetahuan Ilahi. Dan kemungkinan ketiga yang bisa muncul adalah adukan antara ideologi langit dan ideologi bumi.

Sebagai sebuah bangsa besar, indonesia adalah pemilik idiologi pancasila. Dalam praktek sepanjang sejarah kebangsaan dan politik bangsa kita, rasa-rasanya ideologi ini hanya tertimbun dalam bertumpuk-tumpuk retorika politik, maupun publik. Hanya secara konstitusi keberadaannya diakui secara sah sebagai ideologi bangsa, pegangan hidup, sumber wawasan kenusantaraan, sumber hukum dan perekat perasaan keindonesiaan kita, tetapi kenyataannya kehidupan negara dan bangsa kita sepertinya bergerak ‘semaunya’ tanpa menyertakan pancasila yang seharusnya menjadi pasangan ideal dan setiannya. Liberalisme dan atau kapitalime kelihatannya lebih mendominasi warna-warni kehidupan berbangsa dan bernegara kita. Dari masyarakat elit hingga ke masyarakat umum, praktek-praktek nilai dari kedua isme tersebut mudah kita ketemukan. Nampaknya kita doyan dengan perilaku liberalis dan kapitalis tersebut. Ini terjadi karena beragam sebab, sebab yang paling mendasar adalah diberikannya ruang gerak secara leluasa dalam struktur masyarakat elit dalam bentuknya yang paling kuat, yakni memalui jalur regulasi. Banyak regulasi kita lebih memihak pada nilai-nilai kapitalisme dan liberalisme ketimbang nilai-nilai pancasila, khusunya pada pengaturan yang berkaitan langsung maupun tidak langsung dengan kepentingan internasional, baik dalam hal ekonomi, politik dan keamanan.

Dan yang paling terasa adalah dalam kehidupan ekonomi. Indonesia adalah negara besar bukan hanya karena jumlah penduduk, tetapi juga kekayaan sumber daya alam yang dimilikinya. Letaknya yang strategis diantara dua benua dan dua samudra, sebagai jalur lintas koneksi antar benua dan dunia internasional, menjadikan kawasan kita punya daya pikat dan harus dilirik dunia internasional dengan beragam kepentingan globalnya. Potensinya yang sedemikian besar, dari segi populasi, membuat dunia internasional berselera untuk menjadikan negeri kita hanya semata sebagai pasar dari produk-produk mereka; bangsa kita tidak dibiarkan untuk produktif, kita hanya didisiapkan untuk menjadi konsumtif. Seluruh masyarakat diajari disiplin dan kerja keras untuk memperoleh penghasilan besar untuk kemudian membelanjakan hasinya kepada ‘pedagang-pedagang asing’. Kekayaan alam kita juga jadi sumber incaran kepentingan internasional. Sejak lama pada pedagang global bersusah payah dengan segala macam cara untuk menguasai sumber-sumber potensial kekayaan alam kita, dan akhirnya mereka bisa dengan lengngang kangkung kesana kemari menanamkan investasinya seluruh penjuru tanah air dan seabrek keuntungan mereka bawa keluar ke negeri ‘asing’. Ini kerena mereka tahu persis kelemahan pejabat publik dan birokrat kita, sehingga mereka bisa dengan mudah mencengkramkan kuku-kuku kapitalisme di bumi pertiwi. Dan masyarakat kita senang berapologi bahwa kita membutuhkan kehadiran ‘orang luar’ untuk membantu kita dalam mengelolah sumber daya alam yang melimpah ruah tersebut, sebab modal kita hanya dengkul saja. Dengan iming-iming sedikit kemewahan hidup, banyak dari pemimpin kita terjerumus dalam perangkap kepentingan ‘asing’ dan mengulurkan tangan mereka atasnama pembangunan nasional dan kesejahteraan masyarakat.

Pada titik ini ideologi pemimpin nasional bangsa ini menjadi penting maknanya bagi masa depan bangsa raksasa ini. Akan berlalu satu atau dua generasi sejak pelantikan SBY-Budiono sebagai persiden dan wakil peresiden di usia indonesia yang ke 64 tahun saat ini, untuk melihat Indonesia sebagai sebuah bangsa yang menyadari keberadaanya sebagai raksasa baru dalam era baru masa depan dunia secara keseluruhan. Ini kalau situasi sosial dan politik berjalan tanpa ‘goncangan besar’ yang berpotensi membelokkan secara radikal arah perjalanan sejarah bangsa raksasa ini ke arah yang sebenarnya.

Titik balik ini seberannya telah dimulai sejak mencuatnya ‘isu ideologi’ dalam kognisi publik saat Pemilu Presiden terakhir ini. Meskipun publik yang membicarakannya secara intens adalah kelompok elit intelektual, belum belebar ke ranah umum dalam konsumsi masyarakat ‘awam’. Namun awal in cukup untuk menstimulan dan mengaduk benak publik awam mengenai ‘baik buruknya’ pemimpin mereka dalam praktek kebijakan sekaitan dengan anutan ideologi individul, dalam tangkapan wawasan yang sederhana oleh masyarakat umum. Seiring dengan waktu, kecerdasan kelompok intelektual akan meleleh hingga masyarakat awam sehingga gerakan ‘simpati atau tidak karena ideologi’ kepada calon-calon pemimpin akan berpeluang menggiring demokrasi ke arah yang dinginkan masyarakat dalam hal kepemimpinan nasional.

Titik balik kedua, ini masih terkait secara ideologis, adalah terlucutinya ‘harga diri’ tiga lembaga hukum dalam permainan bola api antara jabatan dan kemewahan materi pejabat-pejabat hukum dan pihak yang karena memiliki limpahan materi suka memelihara pejabat dan membeli kekuasaan pejabat. Yakni sembrawut hubungan antara Kpk, Polri dan Kejaksaan. Secara telanjang sistem hukum kita dipecundangi oleh kepentingan orang-orang berlimpah materi. Sistem hukum kita terpuruk ketitik terendah implementasinya. Keadilan sedemikian rupa dipermainkan dalam logika ‘keuangan yang maha kuasa’. Sebenarnya bukan kali ini saja ujian berat terhadap sisitem hukum nasional kita dalam mempertahankan citra keadilan kenegaraan dan kebangsaan kita. Telah berkali-kali kejadian serupa meskipun dalam derajat yang berbeda-beda. Namun kali ini, nampaknya titik kulminasinya yang paling mengerikan dan berbahya dalam konteks kita sebagai negara hukum. Runtuhlah sudah sesungguhnya tatanan hukum nasional kita secara moral. Masyarakat seketika kehilangan pegangan yang paling pasti dalam mencari masadepan keadilan kehidupannya. Orang-orang yang telah dipercaya sebagai penegak keadilan kini ‘berkhianat’ atas nama kepentingan di luar semangat keadilan. Orang yang terpercaya ini tecemplung dalam lumpur kotor permainan kepentingan tak bertanggungjawab diatas panggung hukum.

Sebuah negara yang salah satu elemen dasarnya tidak berfungsi maka kepincangan sejarahlah perubahan masadepannlah baginya. Sistem hukum sebagai elemen dasar berdirinya sebuah negara, jika tidak lagi bebas dalam kemandirian subtantifnya, maka sesungguhnya ikatan-ikatan rasa keadilan masyarakatnya terburai dalam kegamangan sosial dan ketidak menentuan peraasaan politis dalam harapan keadilannya. Lenyapnya kepercayaan publik pada sisitem dasar ini, berarti juga tergerusnya simpati dan empati mereka terhadap penguasanya. Penguasa negara yang tidak memperlihatkan ketegasannya dalam kisruh sisitem hukum yang terjadi dalam pemerintahannya, dalam satu hal akan semakin mempercepat penumpukan ketidakpercayaan publik pada pemerintahannya. Dan ketidakpercayaan itu seiring waktu akan terakumulasi dalam benak sosial dan suatu saat kelak akan menjadi ‘antitesis’ atas warna sejarah pemerintahan yang sama ketika kisruh itu terjadi.

Disinilah titik balik kesadaran publik ini terjadi, meskipun dalam intensitasnya yang masih sangat lemah; sebagaimana pada ‘kasus ideologi’ diatas, detak kesadaran titik balik itu juga masih terasa datar saja. Meskipun demikian, ketercenganan publik yang kemudian berkonsekwensi pada ketercerahan baru mengenai masa depan bangsa dan negaranya, terpampang seketika dalam kesadaran mereka sebagai sebuah cahaya wawasan mengenai kehidupan yang lebih beribawah secara ideologis dan bersahaja karena cahaya moral para pemimpin dan pejabat negeri. Keinginan kita saat ini adalah kontras baru terhadap apa yang sedang terjadi. Ketidakbermoralan harus melahirkan kebermoralan, ideologi yang tidak memihak pada fitra kemanusiaan harus tergantikan ideologi yang sejalan dengan fitrah dan hakekat terdalam dari kemanusiaan kita, masa depan yang suram segera berbalik ke masa depan yang adil, makmur dan bersahaja. Perubahan ini memang tidak segera terjadi, tetapi akan mengikuti irama sejarah yang dirancang ‘alam’ secara mesterius, dengan tentu saja ransangannya harus diupayakan secara rasional dan sistemik.

Masa depan bangsa raksasa ini, sepenuhnya ditentukan oleh cahaya ideologi dan pengetahuan yang benar mengenai jati diri kita sebagai sebuah bangsa dan sebuah negara, ditentukan oleh bagaimana kita merancang masa depan seluruh elemen kemanusiaan kita dalam sejarah dalam kesesuainnya dengan cahaya ideologis kita, ditentukan sejauhmana kita sepenuhnya konsisiten dan tetap setia pada kebenaran-kebenaran rasional, kebaikan moral dan religius yang kita anut. Banyaknya chaos yang terjadi dipermukaan kehidupan sosial kita menunjukkan geliat dari sesuatu yang secara alamiah bergerak tanpa kendali kemampuan kita sebagai warga manusia, geliat dari ‘roh’ sebuah bangsa raksasa bernama Indonesia.

12 Juni 2009

PEMBANGUNAN INDONESIA : KEMAJUAN DITENGAH KEMEROSOTAN MORAL

Dikerjakan: Shaff Muhtamar, Direktur Eksekutif Senyawa Institute


I. PENGANTAR

Sudah menjadi hukum peradaban manusia, bahwa perubahan adalah bagian tak terpisah dari perjalanan sejarah kehidupan kita. Eksistensi sejarah manusia adalah perubahan. Manusia sebagai komuni dalam pengertian sosialnya, harapan terbesarnya adalah pada perubahan itu sendiri. Karena pengharapan besar terjadinya perubahan dalam kehidupannya maka manusia kemudian dengan segenap potensialitas yang dimilikinya secara alamiah dan rohonia, melakukan usaha perubahan itu. baca selengkapnya...


PEMBANGUNAN INDONESIA: HUTANG DAN CENGKRAMAN NEOKOLONIALISME


Elhu Haeruddin, Direktur Analisis Strategy and Planing Senyawa Institute

Momentum pemilihan presiden (pilpres) menjadi harapan rakyat Indonesia guna mendapatkan presiden yang mampu membawa perubahan yang lebih baik. Tentu momentum ini menjadi pijakan untuk merubah wajah Indonesia menjadi negeri yang sejahtera. Seekor keledaipun tidak ingin jatuh pada lubang yang sama, seorang filosouf spanyol mengingatkan bahwa mereka yang gagal pengambil pelajaran dari sejarah maka niscaya mereka akan mengulangi pengalaman sejarah itu. Berbagai jargon dan pencitraan yang dibangun oleh para kandidat bertujuan untuk mendulang suara. Namun perlu diketahui bahwa pencitraan itu sangat dipengaruhi oleh perilaku politik dimasa lalu, terkadang pencitraan dibangun kontradiksi terhadap perilaku politik dimasa lalu, tetapi mungkin itulah tujuan pencitraan. Membangun kembali negeri ini harus mengetahui duduk persoalannya. Apa yang sebenarnya harus dilakukan mengapa negeri yang kekayaannya melimpah ruah ini masih belum sejahtera? Berarti ada yang salah atau terjadi masalah, masalah itu karena ada ketidaksesuaian antara harapan (das sein) dengan kenyataan (das sollen). Dalam sejarah panjang negeri ini tidak pernah terlepas dari penjajahan. Dahulu kita dijajah secara fisik, namun penjajahan itupun kembali hadir dalam bentuk dan format yang lain tapi tidak memiliki perbedaan secara subtansi yaitu hilangnya kemerdekaan, kemandirian, dan kedaulatan politik, ekonomi, sosial, hukum dan pertahanan. Dahulu menggunakan senjata sekarang menggunakan institusi internasional sebagai senjata dalam bentuk organiasi ekonomi seperti Bank Dunia dan IMF. Operasional organiasi sejenis inilah yang poluler kita kenal wujud Neokolonialisme atau penjajahan dengan gaya baru. Para penjajah baru (Neokolonial) itu yang paling menonjol adalah dalam bentuk korporasi – korporasi besar yang bersifat multinasional yang memiliki jaringan politik, militer, intelektual, perbankan dan media massa yang sangat kuat dengan tujuan yaitu untuk ‘mengobrak abrik’ kedaulatan negara berkembang agar bisa mendapatkan keuntungan yang setinggi-tingginya. Dengan demikian mereka dapat membangun dominasi di segala bidang yaitu politik, ekonomi, pertahanan, ilmu pengetahuan dan tekonologi. INSTRUMEN GLOBALISASI Memahami globalisasi secara sempit yaitu hilangnya batas-batas antara negara yang satu dengan negara lain sehingga akses informasi, teknologi dan ilmu pengetahuan dapat dengan mudah sampai hingga kepelosok desa. Namun kenyataannya justru hanya melahirkan pengertian bahwa hilangnya perangkat aturan yang membatasi negara maju untuk mengintervensi negara berkembang. Karena justru negara majulah yang lebih banyak diuntungkan karena para pemilik informasi adalah negara maju sehingga segala informasi dapat di design sesuai dengan kepentingannya, demikian juga teknologi seperangkat teknologi yang kita gunakan sebagai produk asing rata-rata dioperasikan oleh pihak asing dengan gaji yang cukup tinggi. Jan Aart Scholts menggambarkan globalisasi sebagai liberalisasi. Yakni merujuk pada pemusnahan berbagai restriksi politik sehingga ekonomi dunia menjadi lebih terbuka dan tanpa batas. Globalisasi melalui rekomendasi kebijakan neoliberal diantaranya privatisasi BUMN, Liberalisasi sektor keuangan, deregulasi pasar dan anggaran yang minim terhadap pembangunan sosial. Kesimpulan sesungguhnya dari globalisasi adalah terbentuknya imperium global yang menjadikan negara maju (Amerika Serikat) sebagai pusat ordinat dalam mengakumulasi keuntungan dari negara pinggiran (peri-peri) atau subordinat. Untuk mencapai tujuan tersebut tidak menutup kemungkinan mereka akan menyisipkan kaki tangannya untuk memuluskan seluruh kebijakannya dan menyingkirkan yang menghalangi kepentingannya. Sebenarnya pengusaha yang paling berbahaya adalah mereka para pengusaha asing yang menancapkan perusahaannya untuk mengeksploitasi Negara berkambang. Ada tiga institusi yang menopang globalisasi yang digunakan negara maju untuk mengintervensi negara berkembang. Yaitu World Bank (WB), International Monetery Found (IMF) dan World Trade Organization (WTO). Tiga institusi global inilah yang mempunyai kekuatan pressure ekonomi yang kuat dalam membentuk imperium global. Pertemuan bretton woods, Amerika Serikat, pada tanggal 22 Juli 1944 sekitar 700 delegasi dari 43 negara menghadiri pertemuan tersebut dan menyetujui kelahiran Bank Dunia (World Bank) dan International Monetery Found (IMF) misi utama pembentukan lembaga tersebut adalah pembangunan yaitu untuk membantu Negara – Negara yang hancur mengingat pada saat itu telah terjadi Perang Dunia Ke II, kemudian berkembang menjadi lembaga yang memberikan bantuan kepada negara miskin atau negara berkembang, Sementara IMF adalah untuk memperbaiki dan menjaga system moneter yang juga hancur pada saat itu, yang ironis dari tujuan tersebut adalah negara yang mendapat bantuan berupa pinjaman dengan bunga diatas 5 % justru semakin miskin dan dililit utang. Jepang sebagai salah satu negara yang ikut hancur pada saat PD II dan ikut berhutang untuk membiayai infrastruktur ekonomi dan pengembangan sumber daya manusianya. Namun dalam perjalanannya utang tersebut terasa terus meningkat hingga pemerintah jepang mengambil inisiatif untuk melakukan penjadwalan pembayaran utang selama 30 tahun dengan melahirkan beberapa kebijakan penghematan pengeluaran, ruang kantor yang kecil dan mobil bekas bagi para menterinya dan beberapa kebijakan lain yang yang ditujukan untuk pengembangan sumber daya manusia. Dan pada tahun 1975 Jepang berhasil keluar dari jeratan utang dan tahun 1977 telah menjadi negara pendonor bagi negara miskin, hingga kini Jepang menjadi salah satu negara kuat diantara 8 negara terkuat di dunia, sekelompok negara yang memiliki kekuatan pressure yang sangat kuat dalam dunia global. Karena menguasai hampir 50 % dari total ekspor global dan asset di Internasional Monetery Found (IMF). KETERGANTUNGAN UTANG Siapapun presiden yang terpilih akan sulit membangun nilai Bargaining terhadap Negara asing, ketergantungan terhadap utang luar negeri menjadi biang sulitnya membangun kemandirian ekonomi. Tercatat utang luar negeri sampai akhir tahun 2004 mencapai kisaran Rp1.275 trilyun dan melejit di tahun 2004 – 2009 menjadi Rp.1.667 trilyun. Dengan demikian terjadi penambahan utang sebesar Rp.392 trilyun dalam kurun waktu kurang dari 5 tahun. Sehingga jumlah rata – rata penambahan utang pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono pertahunnya sebesar Rp.80 trilyun. Total cicilan dan bunga pinjaman luar negeri pemerintahan Presiden SBY pada tahun 2005 sampai bulan September 2008 mencapai Rp. 277 trilyun. Jika APBN sekitar Rp.1000 trilyun lebih, berarti sekitar 30 persen dari APBN digunakan untuk membayar utang. Sebuah kejadian yang berulang sebab Indonesia kembali menjadi Negara pengutang. Era reformasi yang diharapkan menjadi pijakan untuk merubah wajah negeri yang kaya ini, seakan terlupakan dan terkesan tidak mempunyai nilai apa-apa, meskipun pada proses untuk berada pada era tersebut (reformasi) memakan korban nyawa dari perjuangan mahasiswa dan hanya kata maaf yang bisa diberikan kepada founding Father negeri ini. Ada pernyataan menarik dari seorang elit di negeri ini dalam wawancaranya di salah satu stasiun TV swasta beberapa waktu lalu bahwa “membangun dengan utang adalah hal yang wajar, Negara maju saja punya utang” kurang lebih seperti itu bunyinya. pernyataan tersebut seakan ikut mengesahkan naluri dan hasrat untuk terus berutang. Menjadi bahan pertimbangan bahwa Negara maju seperti Amerika Serikat tidak bisa disamakan dengan Indonesia sebagai Negara berkembang (terjadi over generalization) kenapa tidak mengambil contoh Negara yang kolaps karena utang. Negara maju (pemilik modal) mempunyai kekuatan besar untuk menolak segala sesuatu yang dianggap merugikan bagi negaranya sedangkan Negara berkembang tentu kehilangan nyali untuk menolak segala bentuk penjajahan ekonomi yang merugikan. Membahas persoalan keuangan dalam hal ini utang, tidak hanya secara spesifik saja, karena persoalan yang satu dapat mempengaruhi persoalan lain. Pemikiran elit tersebut begitu konservatif cenderung mempertahankan keadaan masa lalu. Pemikiran konservative akan melahirkan Kesadaran naïf yang tidak dapat menghubungkan antara persoalan yang satu dengan persoalan yang lain, Seakan tidak mampu mengaitkan antara persoalan ekonomi dengan politik tetapi kesadaran kritis menyatakan sebaliknya. Sekilas kita begitu bangga ketika Indonesia terlepas dari IMF dengan harapan bahwa intervensi dari kedua lembaga tersebut akan musnah. Tetapi watak dari kedua lembaga tersebut masih tetap dirasakan oleh Indonesia. Watak dari kedua lembaga tersebut adalah sama yaitu yang kita kenal dengan Struktur Adjusment Program (SAP) atau program penyesuaian struktur. Jadi walaupun kita lepas dari IMF tetapi kita masih mempunyai hubungan dengan Bank Dunia yang merupakan saudara kandung dari IMF, tidak merubah watak dan perilaku asing dalam memberikan arahan – arahan atau tekanan untuk mengikuti SAP tersebut. Perbedaan zaman orde baru jika dibandingkan dengan zaman reformasi hanyalah dari segi strategi berutang, zaman Orde baru utang Indonesia berupa pinjaman lunak dengan bunga 4 sampai 6 persen sedangkan pemerintah sekarang menerbitkan SUN (Surat Utang Negara) yang bunganya mencapai 12 sampai 14 persen. Ditengah tingginya beban utang yang harus ditanggung oleh negara, pemerintah melalui menteri keuangan berencana menerbitkan surat utang negara dengan agunan stadion glora Bung Karno senilai Rp. 50 trilun. Hal ini tentu menimbulkan ketidakwajaran, karena dalihnya adalah hanya untuk menutup defisit APBN. EKSPLOITASI ASING Marwoto Mitrohardjono seorang anggota DPR RI pernah menganalogikan kontrak karya Pemerintah dengan Pertamina EP (kontraktor yang menjadi anak perusahaan pertamina). Beliau menganalogikan seperti seseorang yang mempunyai mobil taksi, kemudian ia membuat kontrak dengan seorang sopir untuk mengoperasikan taksi tersebut. Disamping upah sudah diberikan kepada sopir plus harga sepatu, baju dan peralatan yang diperlukan, ia membayar lagi ke sopir itu ongkos penyusutan mobil pertahun secara tunai. Gambaran diatas tampak bahwa mengapa negeri yang kaya ini masih tetap melarat. Analogi diatas akan memberikan gambaran bahwa pemerintah mendapat keuntungan yang hanya sedikit berbeda dengan keuntungan yang didapatkan oleh kontraktor. Hal ini disebabkan karena perhitungan cost recovery yang harus dibebankan kepada pemerintah. Analogi diatas hanya mengambil satu contoh kontrak karya, bayangkan apabila seluruh kontrak karya dengan perusahaan Asing dijalankan dengan cara seperti diatas. Kontrak produk sharing (KPS) juga pernah digambarkan oleh kwiek kian gie (Amien Rais: 199) masyarakat awam mengetahui bahwa rasio antara Indonesia dan Kontraktor berbanding 85 %:15%, sekelebat bagus tetapi nanti dulu ! kontraktor asing yang memegang operatorship eksploitasi migas kita harus menghitung dulu cost recovery. Biaya produksi itu harus dibayar dulu ke korporasi asing sebagai kontraktor asing sebagai kontraktor, baru setelah itu hasil bersih dibagi dengan rasio Indonesia 85 persen, kontraktor 15 persen. Ketemunya, Indonesia mendapat 58 persen sedangkan kontraktor produktion sharing 41 persen. Beberapa penggambaran diatas akan memberikan rakyat Indonesia jawaban bahwa negeri yang kaya ini tidak akan pernah maju apabila praktek eksploitasi dari seluruh kontrak karya dengan pihak asing tidak memberikan keuntungan yang signifikan kepada Indonesia. Pemimpin yang selanjutnya akan membangun Indonesia seharusnya memiliki keberanian untuk segera merekonstruksi atau renegosiasi terahadap seluruh kontrak karya yang ada, agar Indonesia menjadi lebih maju dan siap bersaing dengan negara lain. HARAPAN UNTUK INDONESIA BARU Meninggalkan resep ekonomi neoliberal yang tertuang dalam Consensus Washington adalah jalan terbaik untuk negara kaya. Rekonstruksi seluruh kontrak karya terhadap kontraktor asing guna mendapatkan fair trade world (keadilan ekonomi dunia). Bukannya memperlebar kesenjangan ekonomi antara negara maju dengan negara berkembang. Bayangkan apabila negara maju seperti Amerika dan eropa menghabiskan $ 17 milyar hanya untuk memberi makanan anjing dan kucing sementara pemerintah Indonesia harus berutang untuk membiayai rakyat miskin. Belajar pada banyak negara lain yang merekonstruksi kontrak karya pembangunan dengan negara maju justru semakin maju (China, India dan Argentina), ancaman yang diberikan bahwa mereka akan dikucilkan investor Asing hanyalah gertak semata, terbukti ketika china dan Argentina merekonstruksi seluruh kontrak karya dengan Investor asing ternyata tidak demikian, investor asing tidak hengkang dan tetap melanjutkan hubungan ekonomi tersebut. Investor asing memang tetap pemerintah butuhkkan tetapi tentu dengan kontrak karya yang lebih adil dan menguntungkan, dan bukan kontrak karya yang merugikan yang sifatnya sangat pragmatis, serta pajak progresif untuk barang-barang Impor untuk menutupi defisit APBN, dengan begitu Indonesia dapat membuka lapangan kerja yang lebih luas dan tidak lagi mengirim TKI ke negara lain untuk mendapatkan pendapatan negara sementara harus mengorbankan harkat dan martabat bangsa seperti beberapa kasus penyiksaan para TKI di negara lain. Menjadi harapan seluruh rakyat Indonesia adalah kesejahteraan, pemimpin yang bisa membawa angin perubahan, bukan pemimpin yang membawa bangsa yang kaya ini menjadi bertambah miskin. Seharusnya kekayaan negara ini jika dikelola dengan baik dapat membiayai peningkatan kesejahteraan. Sesuai dengan amanat undang-undang bahwa seluruh kekayaan alam dikelola oleh negara dan dimanfaatkan untuk kesejateraan rakyat. Transisi ekonomi yang dialami Indonesia beberapa tahun terkhir, membuat Indonesia berada pada kondisi ketidakpastian (ketidakpastian ekonomi) yang bias terhadap keadaan masyarakat di tingkat bawah (grass root), sehingga memicu tingkat kriminal yang lebih cenderung meningkat. Ketidakpastian itu juga dapat melahirkan tingkat stress yang tinggi di masyarakat yang cenderung menciptakan konflik yang dapat merusak integritas bangsa. Indonesia harus lebih cepat keluar dari kondisi ini. Momentum Pilpres kali ini harus dijadikan titik balik perubahan untuk mengembalikan jati diri bangsa. Presiden berikutnya setidaknya, tidak memiliki birahi pengutang dengan mengandalkan utang untuk membangun pertumbuhan ekonomi tetapi justeru hanya membuatkan lubang besar untuk Indonesia. Tidak bermental budak (Agen Neolib), dan mempunyai intuisi agar mampu merasakan penderitaan jutaan rakyat miskin. Pemimpin yang mampu membuat poros baru untuk tegaknya kedaulatan ekonomi, politik, pertahanan dan keamanan. Nasib bangsa ini ditentukan oleh pilihan rakyat Indonesia, salah dalam menentukan pilihan tentu tidak akan merubah Indonesia.

29 Mei 2009

ARAH PANGGUNG POLITIK MASA DEPAN INDONESIA

Shaff Muhtamar, Ditektur Eksekutiv Senyawa Institute

Masarakat bangsa kita saat ini tengah mempersiapkan sebuah pesra meriah. Pesta demokrasi dari sebuah bangsa yang telah beranjak modern. Pesta politik untuk memilih satu paket kepemimpinan nasional. Ritual demokrasi ini telah berjalan sepanjang sejarah bangsa ini sejak pertamakali mendeklarasikan diri sebagai sebuah bangsa yang merdeka, tahun 1945. Dan setiap generasi bangsa sejak itu, telah silih berganti megisi sejarah perjalanan bangsanya hingga saat ini.

Banyak perbedaan dari satu fase sejarah ke fase sejarah lainnya. Setiap generasi memiliki narasinya sendiri-sendiri mengenai apa yang mereka rasakan pasa zamannya. Sejarah Sukarno, sejarah Suharto, Habibie, Abdurahman Wahid, Megawati Sukarno Putri dan sekarang sejarah Susilo Bambang Yudoyono, dalam dinamika pemerintahan negara republik Indonesia, setiap kita memiliki frame yang berbeda mengenai 'pemimpin-pemimpin tersebut mengelolah pemerintahan bagi masyarakat'.

Pandangan setiap generasi akan mengungkapkan; penderitaan apa dan kebahagiaan apa yang masyarakat rasakan dari periode sebuah pemerintahan nasional di negara modern Indonesia. Frame penderitaan dan kebahagiaan adalah basis untuk mengatakan sebuah komentar suka atau tidak suka dengan sebuah gaya pemerintahan nasional.

Namun semenderita atau sebahagia apapun masyarakat Indonesia modern dalam sejarahnya itu, persta politik demokrasi tetap menjadi suatu susana kebangsaan dan kenegaraan yang memilki daya hipnotis tersendiri bagi masyarakat. Post-orde baru, minat dan kesenangan publik bangsa kita terhadap politik sangat bombastis. Setiap kita pasti tahu alasannya. Pesta-pesta politik demokrasi pasca presiden Suhartoa adalah yang selalu terhingar-bingar dari sejarah sebelumnya.

Dan bahwa setiap sejarah kepemimpinan nasional membawa nuansa dan dinamikanya sendiri-sendiri. Pertanyaan mendasarnya adalah:
  • Nuansa apa yang paling mendasar secara fundamental dair setiap perubahan yang terjadi dalam periode-periode pemerintahan nasional kita?
  • Pergerakan dinamika perubahan yang diciptakan opersinal manajemen pemerintahan itu mengarah ke jalur/arah mana?
Banyak jawaban atas pertanyaan ini dan banyak diantara jawaban itu hanya berputar dalam satu pusaran postulasi yang sama dari setiap komentator, yakni: Kesejahteraan masyarakat dalam timbangan ekonomi. Meskipun dalam beberapa dekade terakhir setelah seiring tibanya melenium baru, postulasi itu kemudian mulai bergerak kearah yang lebih lunak, seperti Kesejahteraan pendidikan dan kesehatan serta lingkungan hidup.

Pertama, dalam perspektif kualitas nilai perubahan dalam terma equilibrium sejarah kehidupan masyarakat manusia, maka Ideologi (atau kita menyebutnya juga mindset, dan anutan kesdaran atau nilai person sang peimpin) dari sistem yang dijalankan oleh sebuah pemerintahan, akan memberikan nuansa paling kental sebagai warna perubahan masyarakat yang diciptakannya dalam beragam bidang. Oleh sebab itu kesadaran atau ideologi seorang pemimpin adalah salah satu faktor penentu arah berubahan masyarakat yang diinginkan.

Kedua, kalau perubahan yang diciptakan oleh sebuah sistem pemerintahan hanya mengarah pada kesejahteraan ekonomi semata, maka perubahan itu pada dasarnya akan menjadi potensi paling bahaya yang akan mengancam sistem keseimbangan sejarah kehidupan kita. Anda bisa lihat, spektakulernya capaian-capaian ekonomi nasional yang diklaim pemerintah, berbanding terbalik degan kenyataan yang sesunggunya. Pertumbuhan ekonomi yang memuncak tidak serta merta membawa sabagian besar masyarakat kita juga ke puncak kesejahteraan. Hanya segelintir saja masyarakat (elit) yang sunggu-sungguh merasakan capaian kemakmuran itu.

Lalu, apa artinya pertumbuhan yang spektakuler itu, jika kenyataanya tidak secara masiv dirasakan secara bersama oleh seluruh lapisan masyarakat?

Oleh karena itu, penting bagi masyarakat kita untuk melihat secara kritis, pesta politik demokratis nasional yang akan kita gelar, dalam waktu dekat ini. Yang kita inginkan adalah, panggung politik nasional kita untuk periode pemerintahan kedepan adalah suatu stage starategy bagi entri baru perubahan fundamental, dalam konteks kerja-kerja sejarah peradaban dalam ranah nasional, regional dan global. Segera kita harus menutup layar bagi aktor-aktor yang hanya akan memperpanjang penderitaan manusia secara bathin maupun lahir, mereka hanya mampu meniupkan seruling buaian surga yang hanya melantunkan keindahan kehidupan sebagai bunga tidur kemasyarakatan bagi bangsa kita.

Bangsa kita harus mamupu melepaskan diri dari tali-tali ikatan yang menjerat leher kehidupan masyarakat bangsa kita secara keseluruhan. Tali jeratan yang berwarna 'ideologi arus kuat' dari eksistensi globalnya, yang secara alamia telah menciptakan imperium global secara rasional. Bangsa kita harus mampu memustuskan tali itu, demi kebangkitan baru masyarakat bangsa ini dan menampilkan diri sebagai sebuah bangsa yang memiliki jatidirinya sendiri.

Disadari ini bukanlah pekerjaan ringan, sebab harus ada keberanian melawan diri sendiri. Bangsa kita kehilangan kesejatiannya karena sikap keterbukaan kita terhadap dunia luar tidak sepenuhnya kritis. Segalah apa yang berasal dari luar adalah sepenuhnya baik bagi kita, begitu kita berasumsi. Dan sikap ramah para penentu kebijakan di negara kita juga, dimanfaatkan sebagai saluan-saluran resmi dan tidak remi bagi penetrasi sebuah imperium global yang telah menciptakan ketidakseimbangan kehidupan dalam sejarah peradaban modern itu.

Kepemimpinan nasional baru yang akan datang seharusnya seharusnya adalah pembawa obor kemerdekaan baru bagi bangsa besar ini. Sehingga menjadi stimulan awal bagi kebangkitan baru bangsa ini dimasa depan, dalam peran-perannya secara global.