14 November 2009

KISRUH IDEOLOGI DAN SISTEM HUKUM (Titik Balik Baru Bayangan Masa Depan Sebuah Bangsa Raksasa)


Oleh : Shaff Muhtamar
Direktur Eksekutif Senyawa Institute

Tiga bulan menjelang pergantian kepemimpinan nasional indonesia periode 2003/2009 – 2009/2014, hingga satu bulan setelah pelantikan SBY-Budiono sebagai pasangan pepimpin nasional yang terpilih untuk periode terbaru. Yang menarik bagi saya dalam rentang waktu tersebut adalah mencuatnya secara tajam dalam kawasan publik mengenai ‘idiologi pemimpin’. Masa kampanye capres banyak diwarnai perbincangan publik mengenai isme-isme yang kelihatanya diarak masing-masing capres, seperti Iliberalisme, neo- liberalisme, kapitalisme, pancasilaisme, nusantaraisme dan nasionalisme, Ini yang pertama. Dan yang ke dua adalah hiruk-pikuk perseteruan yang melibatkan tiga lembaga penegak hukum secara menonjol dan vulgar: Kpk, Polri, dan Kejaksaan. Para pejabat elitnya terbelit masalah yang runyam. Masalah yang mempertaruhkan eksistensi sebuah sistem hukum, gengsi politis lembaga dan hasrat rendah sebuah kemewahan jabatan.

Ke dua peristiwa ini sebagai fenomena sosial, hemat saya, telah menjadi semacam titik balik baru bagi konstruk wawasan maupun image masa depan masyarakat kita. Perbincangan publik mengenai idieologi pemimpinnya dalam skala yang luas dengan tingkat kedalaman yang relatif, untuk pertama kalinya terjadi setelah 40 tahun terakhir dalam sejarah politik bangsa ini. Momentum ini merupakan stimulan baru bagi benak publik bahwa ‘ideologi pemimpin’ adalah hal mendasar untuk dipertanyakan sebab akan menyangkut nilai, style dan tata cara mereka memimpin bangsa ini, dengan demikian juga mengenai kearah mana masa depan masyarakat besar ini akan dibawa? Meskipun memang, pada akhirnya masalah ideologi ini akan menjadi urusan politik. Kita sebagai publik yang membincangkannya juga suka atau tidak akan terseret ke arah politik. Pengetahuan mengenai kita mengenai isme-isme tersebut, pada kenyataannya akan mamaksa tangan kita menarik garis batas yang tegas mengenai apa yang kita suka dan yang tidak kita senangi. Aroma ideologi membuat kita terjerembab dalam pendulum yang bergoyang antara suka atau tidak suka secara bolak- balik. Tetapi pilihan kita adalah gambar besar eksisitensi kita di masa depan.

Pilihan ideologi seorang pemimpin menjadi sangat penting artinya bagi publik, karenya menyangkut masa depan mereka. Demokrasi telah memungkinkan setiap kita untuk menolak pemimpin yang berbeda ‘ideologi’ dengan kita. Sama memungkinkannya bagi demokrasi untuk memberikan kesempatan kepada segala macam dan jenis ideologi yang ada untuk bersaing, karena publiklah nanti yang menjadi penentunya. Semakin semarak dan intens publik memperbincangkan ideologi dalam beragam perspektifnya, maka akan menjadi baik bagi terbukanya kesempatan-kesempatan baru masa depan alternatif bagi masyarakat kita. Karena masa depan selalu berawal dari sepenggal ide kebaikan dan nilai kebajikan. Dan yang mendasar sebenarnya adalah nilai-nilai dibalik sebuah ideologi. Ideologi secara umum hanya mungkin dikategorikan dalam dua garis besar, yakni ideologi yang racikan nilainya murni berasar dari kehhidupan bumi, dan ideologi yang sulam dari benang-benang nilai dari langit. Maksudnya yang pertama, ideologi tersebut kebenarannya hanya bersumber dari kedalaman sumur akal atau rasio manusia, dan yang ideologi kedua, kebenarannya bersumber dari bentangan samudra tanpa batas pengetahuan Ilahi. Dan kemungkinan ketiga yang bisa muncul adalah adukan antara ideologi langit dan ideologi bumi.

Sebagai sebuah bangsa besar, indonesia adalah pemilik idiologi pancasila. Dalam praktek sepanjang sejarah kebangsaan dan politik bangsa kita, rasa-rasanya ideologi ini hanya tertimbun dalam bertumpuk-tumpuk retorika politik, maupun publik. Hanya secara konstitusi keberadaannya diakui secara sah sebagai ideologi bangsa, pegangan hidup, sumber wawasan kenusantaraan, sumber hukum dan perekat perasaan keindonesiaan kita, tetapi kenyataannya kehidupan negara dan bangsa kita sepertinya bergerak ‘semaunya’ tanpa menyertakan pancasila yang seharusnya menjadi pasangan ideal dan setiannya. Liberalisme dan atau kapitalime kelihatannya lebih mendominasi warna-warni kehidupan berbangsa dan bernegara kita. Dari masyarakat elit hingga ke masyarakat umum, praktek-praktek nilai dari kedua isme tersebut mudah kita ketemukan. Nampaknya kita doyan dengan perilaku liberalis dan kapitalis tersebut. Ini terjadi karena beragam sebab, sebab yang paling mendasar adalah diberikannya ruang gerak secara leluasa dalam struktur masyarakat elit dalam bentuknya yang paling kuat, yakni memalui jalur regulasi. Banyak regulasi kita lebih memihak pada nilai-nilai kapitalisme dan liberalisme ketimbang nilai-nilai pancasila, khusunya pada pengaturan yang berkaitan langsung maupun tidak langsung dengan kepentingan internasional, baik dalam hal ekonomi, politik dan keamanan.

Dan yang paling terasa adalah dalam kehidupan ekonomi. Indonesia adalah negara besar bukan hanya karena jumlah penduduk, tetapi juga kekayaan sumber daya alam yang dimilikinya. Letaknya yang strategis diantara dua benua dan dua samudra, sebagai jalur lintas koneksi antar benua dan dunia internasional, menjadikan kawasan kita punya daya pikat dan harus dilirik dunia internasional dengan beragam kepentingan globalnya. Potensinya yang sedemikian besar, dari segi populasi, membuat dunia internasional berselera untuk menjadikan negeri kita hanya semata sebagai pasar dari produk-produk mereka; bangsa kita tidak dibiarkan untuk produktif, kita hanya didisiapkan untuk menjadi konsumtif. Seluruh masyarakat diajari disiplin dan kerja keras untuk memperoleh penghasilan besar untuk kemudian membelanjakan hasinya kepada ‘pedagang-pedagang asing’. Kekayaan alam kita juga jadi sumber incaran kepentingan internasional. Sejak lama pada pedagang global bersusah payah dengan segala macam cara untuk menguasai sumber-sumber potensial kekayaan alam kita, dan akhirnya mereka bisa dengan lengngang kangkung kesana kemari menanamkan investasinya seluruh penjuru tanah air dan seabrek keuntungan mereka bawa keluar ke negeri ‘asing’. Ini kerena mereka tahu persis kelemahan pejabat publik dan birokrat kita, sehingga mereka bisa dengan mudah mencengkramkan kuku-kuku kapitalisme di bumi pertiwi. Dan masyarakat kita senang berapologi bahwa kita membutuhkan kehadiran ‘orang luar’ untuk membantu kita dalam mengelolah sumber daya alam yang melimpah ruah tersebut, sebab modal kita hanya dengkul saja. Dengan iming-iming sedikit kemewahan hidup, banyak dari pemimpin kita terjerumus dalam perangkap kepentingan ‘asing’ dan mengulurkan tangan mereka atasnama pembangunan nasional dan kesejahteraan masyarakat.

Pada titik ini ideologi pemimpin nasional bangsa ini menjadi penting maknanya bagi masa depan bangsa raksasa ini. Akan berlalu satu atau dua generasi sejak pelantikan SBY-Budiono sebagai persiden dan wakil peresiden di usia indonesia yang ke 64 tahun saat ini, untuk melihat Indonesia sebagai sebuah bangsa yang menyadari keberadaanya sebagai raksasa baru dalam era baru masa depan dunia secara keseluruhan. Ini kalau situasi sosial dan politik berjalan tanpa ‘goncangan besar’ yang berpotensi membelokkan secara radikal arah perjalanan sejarah bangsa raksasa ini ke arah yang sebenarnya.

Titik balik ini seberannya telah dimulai sejak mencuatnya ‘isu ideologi’ dalam kognisi publik saat Pemilu Presiden terakhir ini. Meskipun publik yang membicarakannya secara intens adalah kelompok elit intelektual, belum belebar ke ranah umum dalam konsumsi masyarakat ‘awam’. Namun awal in cukup untuk menstimulan dan mengaduk benak publik awam mengenai ‘baik buruknya’ pemimpin mereka dalam praktek kebijakan sekaitan dengan anutan ideologi individul, dalam tangkapan wawasan yang sederhana oleh masyarakat umum. Seiring dengan waktu, kecerdasan kelompok intelektual akan meleleh hingga masyarakat awam sehingga gerakan ‘simpati atau tidak karena ideologi’ kepada calon-calon pemimpin akan berpeluang menggiring demokrasi ke arah yang dinginkan masyarakat dalam hal kepemimpinan nasional.

Titik balik kedua, ini masih terkait secara ideologis, adalah terlucutinya ‘harga diri’ tiga lembaga hukum dalam permainan bola api antara jabatan dan kemewahan materi pejabat-pejabat hukum dan pihak yang karena memiliki limpahan materi suka memelihara pejabat dan membeli kekuasaan pejabat. Yakni sembrawut hubungan antara Kpk, Polri dan Kejaksaan. Secara telanjang sistem hukum kita dipecundangi oleh kepentingan orang-orang berlimpah materi. Sistem hukum kita terpuruk ketitik terendah implementasinya. Keadilan sedemikian rupa dipermainkan dalam logika ‘keuangan yang maha kuasa’. Sebenarnya bukan kali ini saja ujian berat terhadap sisitem hukum nasional kita dalam mempertahankan citra keadilan kenegaraan dan kebangsaan kita. Telah berkali-kali kejadian serupa meskipun dalam derajat yang berbeda-beda. Namun kali ini, nampaknya titik kulminasinya yang paling mengerikan dan berbahya dalam konteks kita sebagai negara hukum. Runtuhlah sudah sesungguhnya tatanan hukum nasional kita secara moral. Masyarakat seketika kehilangan pegangan yang paling pasti dalam mencari masadepan keadilan kehidupannya. Orang-orang yang telah dipercaya sebagai penegak keadilan kini ‘berkhianat’ atas nama kepentingan di luar semangat keadilan. Orang yang terpercaya ini tecemplung dalam lumpur kotor permainan kepentingan tak bertanggungjawab diatas panggung hukum.

Sebuah negara yang salah satu elemen dasarnya tidak berfungsi maka kepincangan sejarahlah perubahan masadepannlah baginya. Sistem hukum sebagai elemen dasar berdirinya sebuah negara, jika tidak lagi bebas dalam kemandirian subtantifnya, maka sesungguhnya ikatan-ikatan rasa keadilan masyarakatnya terburai dalam kegamangan sosial dan ketidak menentuan peraasaan politis dalam harapan keadilannya. Lenyapnya kepercayaan publik pada sisitem dasar ini, berarti juga tergerusnya simpati dan empati mereka terhadap penguasanya. Penguasa negara yang tidak memperlihatkan ketegasannya dalam kisruh sisitem hukum yang terjadi dalam pemerintahannya, dalam satu hal akan semakin mempercepat penumpukan ketidakpercayaan publik pada pemerintahannya. Dan ketidakpercayaan itu seiring waktu akan terakumulasi dalam benak sosial dan suatu saat kelak akan menjadi ‘antitesis’ atas warna sejarah pemerintahan yang sama ketika kisruh itu terjadi.

Disinilah titik balik kesadaran publik ini terjadi, meskipun dalam intensitasnya yang masih sangat lemah; sebagaimana pada ‘kasus ideologi’ diatas, detak kesadaran titik balik itu juga masih terasa datar saja. Meskipun demikian, ketercenganan publik yang kemudian berkonsekwensi pada ketercerahan baru mengenai masa depan bangsa dan negaranya, terpampang seketika dalam kesadaran mereka sebagai sebuah cahaya wawasan mengenai kehidupan yang lebih beribawah secara ideologis dan bersahaja karena cahaya moral para pemimpin dan pejabat negeri. Keinginan kita saat ini adalah kontras baru terhadap apa yang sedang terjadi. Ketidakbermoralan harus melahirkan kebermoralan, ideologi yang tidak memihak pada fitra kemanusiaan harus tergantikan ideologi yang sejalan dengan fitrah dan hakekat terdalam dari kemanusiaan kita, masa depan yang suram segera berbalik ke masa depan yang adil, makmur dan bersahaja. Perubahan ini memang tidak segera terjadi, tetapi akan mengikuti irama sejarah yang dirancang ‘alam’ secara mesterius, dengan tentu saja ransangannya harus diupayakan secara rasional dan sistemik.

Masa depan bangsa raksasa ini, sepenuhnya ditentukan oleh cahaya ideologi dan pengetahuan yang benar mengenai jati diri kita sebagai sebuah bangsa dan sebuah negara, ditentukan oleh bagaimana kita merancang masa depan seluruh elemen kemanusiaan kita dalam sejarah dalam kesesuainnya dengan cahaya ideologis kita, ditentukan sejauhmana kita sepenuhnya konsisiten dan tetap setia pada kebenaran-kebenaran rasional, kebaikan moral dan religius yang kita anut. Banyaknya chaos yang terjadi dipermukaan kehidupan sosial kita menunjukkan geliat dari sesuatu yang secara alamiah bergerak tanpa kendali kemampuan kita sebagai warga manusia, geliat dari ‘roh’ sebuah bangsa raksasa bernama Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar